Buket Bunga Berdarah

Buket Bunga Berdarah 

Adapted from Bachelor's Button Bouquet unedited Creative Commons (4682947915).jpg by D Sharon Pruitt, Licensed under CC BY-SA 2.0

Sebuah penjara kecil berisikan seorang perempuan ditutup oleh tirai.  “Baiklah penonton. Mari kita hitung mundur sama-sama! Dimulai dari—Tiga! Dua! Satu!” Tepat di hitungan satu, paron jatuh dari atas panggung, menimpa penjara itu dan menghasilkan suara yang keras.

Para penonton terlihat gelisah dan ketakutan. Sang ilusionis pun menarik tirai dan mengungkapkan bahwa sang perempuan telah kabur dari penjara. Mengejutkannya, sang ilusionis membuka penyamarannya dan ternyata dialah sang perempuan dan ilusionis yang sebenarnya muncul di antara penonton.

Tepuk tangan meriah memenuhi ruangan itu. “Terima kasih dan sampai jumpa!”

***

Rumah Teh Kebun Melati, sebuah restoran kecil yang terletak di Kota Kebun Melati yang hanya menyediakan teh namun dengan berbagai varian tentunya. Mereka akhir-akhir ini terkenal karena slogan mereka, “Dipetik langsung dari kebunnya”.

Pasangan pesulap itu duduk berhadapan di sebuah meja. Mereka memesan menu yang sama pada hari itu, membicarakan tentang pertunjukan yang cukup menghasilkan. Ilusionis pria itu bernama Dimas, sedang sang perempuan bernama Andini. Mereka sudah cukup lama menjalin cinta.

“Bagi dikit dong, hasil yang kemarin,” ucap Andini memulai pembicaraan.

Dimas sempat kebingungan kemudian mengambil dompet dari saku belakangnya. Dia pun menyerahkan lima lembar kertas merah kepada Andini.

“Kita bagi rata karena total pendapatan sejuta pas,” ucap Dimas.

Andini terlihat tidak puas. “Tambah lagi.”

Dimas terdiam sebentar. “Berapa keinginanmu?”

“Sisakan seberapa perlumu.” Dimas sangat keheranan saat itu kemudian berpikir sebentar. Dia kemudian menambahkan tiga lembar, dengan wajah agak sedih namun Andini malah bahagia. Wajah bahagia itu hanya sebentar.

Ponsel Andini berdering, tanda pesan masuk. “Aku pergi dulu ya.” Dia pun memeluk Dimas dengan cukup erat kemudian pergi. Dimas ingin mengejarnya.

“Mohon dibayar dulu.” Pelayan yang bernama Darto itu mencegah Dimas pulang. Dimas pun mencari dompetnya dan ternyata hilang. Dia sontak menoleh ke belakang untuk mencari Andini namun dia sudah pergi.

“Maaf, saya tidak bisa. Dompet saya diambil oleh perempuan tadi.”

“Tidak bisa? Silakan, pergi ke belakang. Cuci semua gelas yang ada di sana.”

***

Minggu, 25 Agustus – Pada dinding perbatasan, Dimas menunggu Andini setelah menelponnya untuk datang. Dengan setelan jas dan membawa sebuah buket bunga. Sesekali dia merapikan rambutnya dengan tangan.

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Andini datang juga. Pakaiannya pada saat ini terbilang sederhana untuk sebuah pertemuan.

“Kenapa harus bertemu di sini?” tanya Andini dengan wajah kesal.

Dimas bergulat dalam hatinya. “Dia yang terlambat, dia yang marah.”

“Mari kita pindah ke tempat lain?”

“Ada apa denganmu sebenarnya? Akhir-akhir ini hubungan kita mulai tidak jelas.” Akhirnya Dimas berani mengungkapkannya, meskipun harus bernada keras.

Andini terlihat semakin kesal. “Tidak jelas? Memangnya sampai mana hubungan kita? Selama ini aku mendekatimu hanya untuk mengambil trik sulapmu dan menampilkannya. Begitu juga uangmu. Kamu ternyata sangat mudah dimanfaatkan, Dimas.”

Dimas yang mendengar kalimat tersebut sangat marah. Rupanya, dia menyembunyikan sebuah pedang dalam  buket bunga yang dibawanya. Dia pun mengeluarkan pedang itu dan langsung menusukkannya tepat ke jantung Andini.

“Kamu telah melukai hatiku, Andini. Inilah pembalasanku,” ucap Dimas sambil mencabut pedang itu dengan paksa.

Dimas sudah kehilangan kesabarannya namun tetap melihat ke sekitarnya dan menyadari penghuni rumah di perbatasan itu menyaksikan dia membunuh Andini namun ketakutan ketika menyadari Dimas menatapnya sehingga menutup tirai jendelanya.

****

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.