Kasus 1 - Kesalahpahaman

Pagi itu, Haris pergi ke sekolah seperti biasanya. Namun tidak kali ini, kemungkinan kali ini adalah hal yang merubahnya secara keseluruhan dalam hidup.

Ada orang yang tiba-tiba mendekap Haris dari belakang. Dia berhasil melihat wajah orang itu namun sepertinya Haris tidak mengenalnya. Haris pun melawan, namun sepertinya dia terlalu keras memukul kepala orang itu sehingga dia tidak sadarkan diri.

Haris menghiraukannya dengan berpikiran dia hanya mengalami gegar otak. Dia kemudian melanjutkan perjalanan ke sekolah.

***

Di tengah-tengah pelajaran pertama, ada beberapa polisi yang berjalan di koridor. Salah satu dari mereka memasuki kelas dan bertanya, “Apakah disini ada yang namanya Haris?”

Haris pun berdiri dari kursi. Polisi itu bernama Ahmad Firdaus dengan pangkat Ajun Inspektur Polisi Dua. Teman Haris yang duduk di depannya bertanya “Ada apa?”

“Entahlah,” jawab Haris.

Ternyata guru yang mengajar saat itu berbicara terlebih dahulu kepada polisi. “Ada apa ya pak?” tanya beliau.

“Anak ini telah membunuh seseorang yang kami belum tahu identitasnya.” Teman-teman Haris terlihat terkejut. Terdengar ada yang berbisik dari mereka, “Aku tidak menyangkanya”

Haris hanya tertunduk dengan tangan terkepal diletakkan di samping tubuh, sambil bergumam “Mengapa ini terjadi?”

“Ayo, ikutlah!” ajak polisi itu. Haris pasrah dan ikut mereka.

***

Saat itu, Haris berada di ruangan interogasi.

Brak!

Seorang polisi tiba-tiba masuk dan langsung memukul meja. Nama yang tertera di baju beliau adalah Faisal dengan pangkat Brigadir Polisi Kepala.

“Santai pak,” kata Haris.

“Bagaimana bisa santai?” sahut beliau. “Kamu sudah membunuh orang yang bahkan tidak kau kenal! Apakah kau gila?!”

“Kurasa tidak,” jawabku.

“Lantas, mengapa kau membunuh orang itu?!” Beliau sepertinya sangat marah atas apa yang telah Haris lakukan. Haris sendiri merasa tidak bersalah atas kejadian tersebut sehingga dia membela diri.

“Dia mendekapku. Aku merasa terancam sehingga harus melawan.”

“Bohong! Tidak mungkin membela diri sampai orang mati.”

“Kurasa sebelumnya dia pernah mengalami gegar otak, sehingga ketika kepalanya kupukul dia langsung pingsan.”

Polisi bernama Firdaus itu memasuki ruangan interogasi. “Apakah anda masih sibuk?” tanya beliau kepada Faisal.

“Tidak,” jawabnya begitu singkat. Padahal urusannya dengan Haris belum selesai.

“Ini ada kasus yang sangat darurat. Ada penyanderaan siswa di Jalan Raya Indah.”

“Bolehkah aku ikut, mungkin aku bisa membantu,” kata Haris. Mereka terkejut dan sempat melarang Haris untuk ikut bahkan berniat untuk memenjarakannya lebih awal.

“Tempat yang kalian sebutkan tadi sangat dekat dengan sekolahku. Aku takut temanku yang disandera,” lanjut Haris.

Firdaus dan Faisal menatap satu sama lain. “Baiklah.” Idris menyetujui hal tersebut.

***

Mobil yang mereka kendarai melaju dengan kencang. Jalanan yang sepi serta sirine yang dinyalakan menjadi pendukung.

“Haris, bagaimana kau tau bahwa korban pernah mengalami gegar otak? Apakah kau mengenalnya?” tanya Faisal yang menyupir.

“Saya sama sekali tidak mengenalnya dan itu hanya dugaanku,” jawab Haris.

Mereka tiba di tempat. Firdaus menjaga Haris sementara Faisal mengancam pelaku yang menyandera teman Haris untuk melepaskannya. Diperlukan sedikit usaha agar teman Haris yang disandera bisa pulang dengan tenang.

***

“Tumben diam, kukira kau akan mengamuk disini,” kata Haris yang bersebelahan dengan pelaku penyanderaan di kursi belakang mobil polisi itu.

Wajahnya pun tiba-tiba berubah. “Apakah kau tidak tahu?! Aku gagal! Aku tidak bisa melakukan apa yang dia suruh—” Dia menutup mulutnya.

"Nah lo, disuruh rupanya. Aku yakin orang yang menyuruhmu sama dengan pendekapku,” kata Haris sambil menengok Faisal.

***

Sehari sebelumnya di pelabuhan. Saat itu angin sepoi-sepoi. Haris berbicara dengan kawan lamanya yang bernama Fadil.

“Bagaimana kabarmu disana?” tanya Haris.

“Baik,” jawab Fadil. “Bagaimana kabarmu juga?”

“Sepertinya akan buruk.”

“Apakah kau bercanda?” tanya Fadil tertawa kecil.

“Sayang sekali, tidak.” Haris terlihat sedang murung saat itu. Fadil mencoba menenangkan dengan menanyakan apa yang terjadi dengan Haris.

Secercah senyuman mulai terlihat dari wajah Haris. “Kurasa semua dimulai enam bulan yang lalu. Saat itu aku di taman menikmati hari liburku. Tiba-tiba, aku mendengar suara tembakan. Semua orang menjadi panik. Aku melihat ada pria berkacamata hitam jatuh di depanku.”

“Karena aku sering menonton acara yang bergenre misteri pembunuhan, aku pun berniat memeriksa apakah dia masih hidup. Tiba-tiba dua polisi datang dan berteriak memerintahku untuk angkat tangan. Aku melihat bibir pria yang jatuh itu masih bergerak menandakan dia masih hidup. Aku pun merasa ada yang salah, seperti ada yang merancang itu.”

Haris kemudian menceritakan bahwa salah satu polisi mendekatinya. Dia adalah Brigadir Polisi Kurniawan, rekan pertama Firdaus. Dia menduga bahwa Haris pelakunya namun Haris mencoba membela diri. Pada akhirnya, Haris diborgol dan dibawa ke kantor polisi.

Tiba-tiba seseorang berteriak “Angkat tangan!” ketika Haris terus bercerita.

“Dia lagi!” kata Haris.

“Maksudmu?" kata Fadil kebingungan.

“Tanpa perlu melihat beliau sekalipun, aku tahu itu pak Kurniawan. Aku masih ingat teriakan itu.”

“Pergilah, Fadil. Aku tidak mau bernasib sepertiku.”  Fadil kemudian pergi menuju dermaga. Banyak peti terletak di sana dan dia bersembunyi di salah satunya.

“Kamu lagi!” kata Faisal sementara Haris hanya diam. “Kamu baru saja membebaskan buronan!”

Fadil sebelumnya sempat diduga melawan pemerintah. Tapi itu hanya sebatas dugaan karena tidak ada bukti yang jelas.

"Denger gak?!" teriak Kurniawan. Haris hanya menarik napas dan berharap seseorang menolongnya.

Dor!

Tembakan ke lengan kiri pak Kurniawan.

Haris menengok ke belakang. Fadil masih berada disana dan menyelamatkan Haris. Pistol itu didapatkannya setelah merenggut dari tangan penjajah yang kembali ke tanahnya. Fadil kembali bersembunyi tepat sebelum Kurniawan melihatnya.

“Siapa disana?” tanya Kurniawan memegang tangan kirinya. Dia melihat ke sekitar namun tidak menemukan siapa-siapa.

 “Baiklah, kali ini kau kubebaskan! Tapi lain kali ... awas!” teriak Kurniawan. Dia membebaskan kami dan kembali ke mobil.

***

“Siapa yang menyuruhmu? Dan namamu?” tanya Haris.

“Namaku Andi. Aku tidak tahu siapa yang menyuruhku karena hanya melalui surel. Dia memerintahku untuk membunuh seseorang dengan sebuah foto yang dilampirkan. Kurasa itu fotomu,” jawab Andi.

“Hm, aku ingin melihat surel itu.” Andi merogoh saku celanan untuk mengambil ponsel kemudian menunjukkannya kepada Haris.

Haris nampak terkejut melihat alamat surel pengirim. “Sepertinya mengarah kepada satu orang namun aku belum mau menyebutnya.”

***

Mereka tiba di kantor polisi. Haris dan Andi dibawa ke ruangan interogasi yang sama. “Entah karena kekurangan ruangan atau disengaja,” gumam Haris.

“Kau nanti dulu. Pelaku baru ini pantas diinterogasi terlebih dahulu,” ucap Bripka Faisal.

Haris mengangguk dan tersenyum. Dia kemudian berjalan ke arah belakang dalam ruangan interogasi itu.

Brak!

Lagi-lagi Bripka Faisal memukul meja itu.

“Bisa lebih santai gak pak?” tanyaku.

“Gak! Dia gak bakal jujur jadi harus kayak gini!” jawab Bripka Faisal.

Aipda Firdaus yang berada di sana berkata kepada Bripka Faisal, “Anak itu ada benarnya. Lebih baik kau mengambil napas sejenak, aku aja yang bicara dengannya.”

“Baiklah.”

“Siapa namamu?” tanya Aipda Firdaus.

“Namaku Andi. Aku sebenarnya hanya disuruh seseorang dari internet untuk membunuh seseorang. Aku mencarinya dan diberitahu sekolahnya di mana. Kebetulan sekali ada salah satu siswa yang kebetulan sedang pulang. Aku pun menyanderanya dengan harapan dia memberitahuku semuanya, ternyata hanya memberitahu bahwa dia temannya tanpa memberitahukan nama.”

“Informasi yang lebih lengkap daripada jawabannya kepada pertanyaanku,” gumam Haris.

“Andi, tunjukkan surel itu juga. Tunjukkan kepada mereka, siapa yang menyuruhmu.” Andi mengambil ponselnya dan menunjukkan surelnya. Aipda Firdaus nampak terkejut.

“Ya, itu teman anda, Kurniawan. Dialah yang memerintahkan Andi untuk menyandera,” ucap Haris. “Teman anda tidak tahu bahwa saya sudah di sini. Perintah yang diterima Andi adalah menangkap siapapun yang melewati tempat itu dimana aku selalu lewat disana. Akhirnya, temanku menjadi korban.”

Singkat cerita, Haris dibebaskan karena terbukti tidak bersalah dan Andi ditahan karena melakukan tindak kejahatan. Haris kembali ke sekolah. Kelas sepi karena yang lain sudah pulang. Juru kunci dari sekolah sempat ingin menutup kelas Haris namun Haris memberitahu bahwa dia harus mengambil ranselnya terlebih dahulu. Haris pun pulang setelah semua barangnya dimasukkan dalam ransel dan kelas dikunci.

Sementara itu, Brigpol Kurniawan terbukti bersalah atas menyalahgunakan kekuasaannya sebagai polisi sehingga dia ditahan dalam penjara untuk waktu yang lama.

Sesampainya di rumah, Haris melihat ibunya duduk di sofa menonton berita di televisi. Sebuah cuplikan dari rekaman CCTV memperlihatkan Haris yang memukul kepala orang yang mendekapnya itu. Rekaman video amatir yang menunjukkan Haris dengan tangan diborgol keluar dari kelasnya juga ditayangkan.

“Dia mirip kamu,” ucap ibu Haris menyambut anaknya datang. Haris hanya terdiam.

Akhir dari Kasus 1

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.